Scot Marciel

Sengketa Kedaulatan di Asia Timur

VIVAnews - Sejumlah isu maritim dan kedaulatan di Asia Timur beraneka ragam dan rumit. Setidaknya ada tiga tema besar terkait dengan isu-isu itu.

Pertama, sengketa kedaulatan yang beragam di Laut China Selatan. Kedua, sejumlah insiden yang melibatkan China dan aktivitas kapal-kapal AS di perairan internasional yang masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) China. Ketiga, bagaimana AS menanggapi masalah-masalah itu secara strategis.

China, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam saling mengklaim kedaulatan masing-masing atas sejumlah bagian di Laut China Selatan. Ukuran wilayah yang diklaim masing-masing pihak beragam satu dengan yang lain. Klaim itu berpusat pada kedaulatan atas 200 pulau kecil, batu-batuan dan karang yang membentuk gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly.

Kendati diwarnai polemik kedaulatan, Laut China Selatan pada umumnya berlangsung damai. Ketegangan-ketegangan antar pihak yang saling mengklaim sering muncul tenggelam.

Hingga saat ini, polemik itu tidak sampai mengarah kepada konflik militer. Pada 2002, negara-negara ASEAN dan China menandatangani "Deklarasi Tata Perilaku Pihak-Pihak di Laut China Selatan." Kendati bersifat mengingat, deklarasi itu menjabarkan sejumlah prinsip yang berguna.

Diantaranya, semua pihak yang mengklaim harus "menyelesaikan masalah dengan cara-cara damai" dan "menerapkan sikap menahan diri." Selain itu, mereka "menegaskan kembali penghormatan dan komitmen atas kebebasan navigasi di dan di atas Laut China Selatan, sebagaimana yang diatur secara universal oleh prinsip-prinsip hukum internasional, diantaranya Konvensi PBB 1982 atas Hukum Laut."

Lebih penting lagi, perjanjian 2002 itu menandakan kemauan dari para pihak yang mengklaim untuk melakukan pendekatan multilateral. Kami menyambut baik kesepakatan itu, meredakan ketegangan antara semua pihak dan memperkuat ASEAN sebagai institusi.

Perjanjian itu belum menghapuskan ketegangan dan juga belum bisa mencegah aksi-aksi sepihak oleh para pihak yang mengkalim di Laut China Selatan. Namun perjanjian itu merupakan suatu permulaan dan landasan yang baik untuk menanggapi konflik-konflik di kawasan secara diplomatis.

Kebijakan AS tetap tidak akan berpihak kepada pihak manapun yang saling mengklaim secara legal atas wilayah di Laut China Selatan. Kami pun tidak punya kepentingan dengan klaim-klaim atas pulau-pulau maupun wilayah darat di Laut China Selatan atau di zona-zona maritim (seperti laut teritorial) yang berasal dari teritori darat itu. 

Namun, kami khawatir atas klaim-klaim "perairan teritorial" atau zona maritim yang tidak berasal dari teritori darat. Klaim-klaim maritim demikian tidak konsisten dengan hukum internasional, seperti yang tercermin dalam Konvensi Hukum Laut.

Kami tetap menaruh perhatian atas ketegangan antara China dan Vietnam. Kedua negara itu berupaya memanfaatkan kandungan minyak dan gas yang berada di bawah dasar Laut China Selatan.

Mulai pertengahan 2007, China mengatakan kepada sejumlah perusahaan minyak dan gas dari AS dan manca negara untuk berhenti melakukan eksplorasi dengan para mitra dari Vietnam di Laut China Selatan. Bila tidak, mereka akan menghadapi konsekuensi-konsekuensi, yang tak ditentukan, saat mereka berbisnis dengan China.
  
Kami keberatan atas setiap upaya untuk mengintimidasi perusahaan-perusahaan AS. Dalam suatu kunjungan di Vietnam September 2008, Deputi Menteri Luar Negeri AS ketika itu, John Negroponte, menegaskan hak-hak operasi perusahaan AS di Laut China Selatan.

Dia menyatakan keyakinan kami bahwa klaim-klaim yang dipersengkatan itu harus diatasi secara damai dan tidak mengandung segala bentuk paksaan. Kami mengemukakan perhatian atas masalah itu secara langsung dengan China.

Sengketa kedaulatan antar negara tidak boleh ditanggapi dengan berupaya menekan perusahaan-perusahaan yang tidak termasuk dalam pihak yang bertikai. Kami juga mendesak semua pihak yang mengklaim untuk menerapkan sikap menahan diri dan mencegah munculnya aksi-aksi yang agresif untuk mengatasi permasalahan.
 
Ada sejumlah sengketa maritim lain di Asia Timur. Jepang dan China punya perbedaan dalam menentukan batas ZEE di Laut China Timur dan masalah kedaulatan di Kepulauan Senkaku. Perhatian atas sengketa-sengketa itu tidak sebesar di Laut China Selatan.

Namun kami terus memantau perkembangan atas semua sengketa maritim. Pasalnya pertikaian atas kedaulatan bisa memanas dengan cepat di suatu kawasan dimana sentimen-sentimen nasionalis masih kental.  



Isu lain adalah menyangkut China dan aktivitas kapal-kapal AS di perairan internasional di dalam ZEE negara itu. Pada Maret 2009, kapal survei USNS Impeccable tengah melakukan operasi rutin, sejalan dengan hukum internasional, di perairan internasional di Laut China Selatan.

Namun, aksi yang dilakukan sejumlah kapal penangkap ikan China yang mengganggu USNS Impeccable membuat kapal-kapal dari kedua pihak berada dalam risiko dan melanggar kebebasan navigasi, serta tidak konsisten dengan kewajiban bagi kapal-kapal di laut untuk tidak membahayakan keselamatan kapal lain.

Kami segera memprotes aksi-aksi demikian kepada pemerintah China. Kami juga mendesak agar perbedaan kita itu bisa diselesaikan melalui mekanisme dialog - bukan melalui konfrontasi antar kapal yang membahayakan kapal dan para pelaut.

Kami mempermasalahkan konsepsi China dalam menerapkan otoritas hukumnya kepada kapal-kapal dari negara lain yang beroperasi di ZEE. Selain itu China menerapkan langkah yang tidak aman dalam menegaskan hak-hak maritimnya.

Pandangan China atas hak-haknya itu tidak didukung oleh hukum internasional. Kami telah menjelaskan isu itu kepada para pejabat China dan menegaskan bahwa kapal-kapal AS akan terus beroperasi secara legal di perairan internasional seperti yang telah dilakukan sejak waktu lampau. 

Namun, sejak pertengahan Mei, tidak ada lagi insiden-insiden gangguan dari kapal-kapal penangkap ikan dari China.



Apa arti isu-isu itu (sengketa teritorial di Laut China Selatan dan masalah ZEE di China) bagi hukum internasional dan bagi dinamika kekuatan yang berkembang di Asia Timur? Bagaimana AS menanggapinya?

Insiden USNS Impeccable dan sengketa kedaulayan di Laut China Selatan merupakan isu-isu berbeda yang membutuhkan kebijakan khusus dari AS. Pada level strategis, kedua isu menyorot meningkatnya penegasan dari China atas apa yang dia klaim sebagai hak-hak maritim. Di kedua kasus itu, kami tidak berbagi atau bahkan tidak paham dengan interpretasi China atas hukum maritim internasional.

Kami yakin bahwa ada cara-cara konstruktif untuk menangani isu-isu rumit itu. Berkaitan dengan penghormatan atas kebebasan bernavigasi di ZEE oleh kapal-kapal AS, kami telah mendesak China untuk mengatasi semua perbedaan melalui dialog.

Bulan lalu, dalam Pembicaraan Konsultatif Bidang Pertahanan di Beijing, Direktur Jenderal Urusan Kebijakan dari Departemen Pertahanan AS, Michele Flournoy, mengangkat isu-isu itu. China sepakat untuk menggelar sesi khusus berdasarkan Perjanjian Konsultatif Maritim Militer - yang ditandatangani 1998 - untuk membahas isu-isu itu dan mencoba mengatasi perbedaan.
      
Mengenai sengketa kedaulatan di Laut China Selatan, kami telah mengimbau semua pihak untuk mencari penyelesaian sesuai dengan Konvensi PBB atas Hukum Laut dan perjanjian-perjajian lain yang telah dibuat antara ASEAN dan China.

Penegasan atas sejumlah klaim di kawasan Laut China Selatan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang penting dan kadangkalan menimbulkan masalah bagi komunitas internasional terkait dengan akses jalur laut dan sumber-sumber maritim.

Ada ambigu dalam klaim China di Laut China Selata, baik dalam konteks batas wilayah yang jelas dan penentuan perairan teritorial atas semua komponen atau hanya di daratan di dalam kawasan itu.

Di masa lalu, ambigu ini membawa sedikit pengaruh bagi kepentingan AS. Namun kini telah menjadi perhatian besar terkait dengan kepentingan perusahaan-perusahaan energi kami saat sejumlah blok-blok lepas pantai telah dipersoalkan oleh China padahal tidak masuk dalam klaim China. Ini mungkin akan berguna bagi semua pihak bila China memberikan kejelasan atas substansi klaim-klaimnya.

Kami juga mencatat langkah China yang telah melakukan pendekatan yang lebih bersahabat dalam mengatasi sengketa perbatasan darat. Tahun lalu, China dan Vietnam menuntaskan perjanjian demarkasi perbatasan darat.

Pendekatan diplomasi umum yang dilakukan China atas Asia Tenggara telah menekankan persahabatan dan menunjukkan hubungan bertetangga yang baik. Selain itu, pengerahan kekuatan laut China ke Teluk Aden untuk memerangi perompakan telah menjadi kontribusi yang positif bagi kepedulian internasional.

Kami merasa tergugah atas langkah-langkah itu dan berharap China akan menerapkan pendekatan konstruktif yang serupa dalam mengatasi masalah perbatasan dan hak-hak maritimnya.  


Tulisan ini merupakan rangkuman dari penjelasan tertulis Scot Marciel - Deputi Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik merangkap Duta Besar AS untuk ASEAN - dalam rapat dengan para anggota Sub-Komisi Urusan Asia Timur dan Pasifik, Komisi Hubungan Luar Negeri Senat AS di Washington DC., 15 Juli 2009. Penjelasan itu dipublikasikan oleh Departemen Luar Negeri AS




Todung Mulya Lubis Ungkap Alasan Sri Mulyani Hingga Risma Dihadiri di Sidang MK
Ketua DPRD Kota Bogor Atang Trisnanto. Muhammad AR/VIVA

Ketua DPRD Kota Bogor Dorong Pemerintah Beri THR Lebaran bagi Warga Terdampak Bencana

Ketua DPRD Kota Bogor mendorong agar pemerintah setempat memberi bantuan semacam "THR Lebaran" bagi 1.134 warga terdampak bencana tiga bulan terakhir ini.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024