Jadi Tentara Tidak Menarik Bagi Pemuda Taiwan

Prajurit militer Taiwan
Sumber :
  • REUTERS

VIVAnews - Pemerintah Taiwan kini diselimuti keresahan. Pasalnya, kaum muda mereka tidak tertarik untuk menjadi tentara, sedangkan ancaman militer dari daratan China masih terbuka lebar.

Tengok pengalaman seorang tentara militer yang tengah berusaha membujuk seorang pria muda di pusat perekrutan militer di Taipei.

Dilansir laman South China Morning Post (SCMP), Senin, 30 Desember 2013, setelah diinformasikan selama kurang lebih setengah jam, pria muda itu langsung berlalu dan terlihat tidak begitu tertarik.

"Dia mengatakan akan memikirkannya," ujar tentara militer yang menjadi anggota kecil tim di pusat perekrutan itu.

Petugas militer yang tidak ingin disebut namanya itu tengah dihimpit rasa frustasi, lantaran dia dituntut agar dapat merekrut relawan sebanyak mungkin yang ingin berkarier sebagai tentara. Sayangnya, upaya itu tidak sejalan dengan tuntutan yang dialamatkan kepadanya.

"Tidak terlalu banyak kaum muda yang tertarik menjadi tentara," katanya lagi.

Perekrutan tentara secara sukarela merupakan realisasi dari janji kampanye Presiden Taiwan, Ma Ying-jeou, di tahun 2008 silam. Saat itu, Ma berjanji untuk mengubah sistem wajib militer dan merekrut tenaga profesional untuk menjadi tentara.

Namun, kenyataannya hal tersebut sulit untuk direalisasikan dan program Ma pun diragukan banyak orang. Rencana Ma, sebagai pengganti wajib militer yang sebelumnya diterapkan, tentara bisa merekrut warga secara sukarela sebanyak 215 ribu orang hingga tahun 2015 mendatang.

Ma ingin mengurangi jumlah tentara bersenjata sebanyak 60 ribu orang. Jumlah 215 ribu itu nantinya akan menambah personel yang sudah ada, yakni 39 ribu orang.

Namun, lantaran tidak memenuhi target, Menteri Pertahanan, Yen Ming, mengumumkan rencana tersebut akan ditunda hingga tahun 2017 mendatang. Alasan utamanya karena proses perekrutan yang berjalan lambat.

Berdasarkan data yang dimiliki Kemenhan, dalam 11 bulan pertama tahun 2013, di empat pusat perekrutan regional di Taiwan, hanya mampu merekrut 8.603 relawan. Angka tersebut tentu jauh dari target yang berharap bisa memperoleh 28.531 tentara di tahun 2013.

Sementara jumlah tentara yang direkrut tahun lalu juga tidak memenuhi target. Militer hanya berhasil merekrut 11 ribu orang dari 15 ribu personel yang ditentukan. Tahun 2011, mereka hanya berhasil merekrut sekitar 6.500 orang. 

Alasan pemuda enggan jadi tentara

Superchallenge Supermoto Race 2024 Segera Dimulai, Yogyakarta Tuan Rumah Seri Perdana

Yen mengakui bahwa alasan di balik gagalnya militer merekrut orang, karena kurangnya insentif yang diberikan kepada calon tentara. Selain itu gaji yang ditawarkan pun tidak menarik, sementara jam kerja panjang dan sebagian besar waktu akan dihabiskan di barak-barak tentara.

Menurut data SCMP, untuk karier awal sebagai tentara, mereka akan menerima bayaran senilai NT$30 ribu atau Rp12,1 juta. Jumlah ini tentu jauh lebih besar dari gaji bulanan yang diterima oleh lulusan universitas. Namun, tetap saja, mereka lebih memilih pekerjaan sipil yang lebih mudah.

Seorang mahasiswa, Yang Yi-ming, mengaku enggan menjadi tentara, karena sebagian besar waktunya harus dihabiskan di barak.

"Saya pikir, berada di barak hanya untuk tidur selama delapan jam. Ternyata sebagian besar waktu kita harus dihabiskan di sana," ungkap Yang.

Selain itu, Yang turut mengeluhkan bayaran rendah yang diterima tentara Taiwan. Dia menyebut hanya dibayar NT$69 atau Rp28 ribu per jamnya.

Nominal itu tentu jauh dari bayaran per jam menjadi pekerja di restoran cepat saji atau toko suvenir. Selain mengenai bayaran, kasus kematian tentara berpangkat rendah Hung Chung-chiu di bulan Juli lalu, turut menjadi faktor pemicu.

Hung meninggal akibat kegagalan beberapa organ tubuh paska dipaksa oleh tentara seniornya menjalani latihan keras tanpa henti di pusat pelatihan militer dan dikurung di dalam sel isolasi. Menurut pengakuan tentara seniornya, langkah itu diambil sebagai hukuman bagi Hung yang ketahuan membawa ponsel berkamera masuk ke pusat pelatihan.

Akibat kasus tersebut, publik marah dan menggelar unjuk rasa besar-besaran di depan Kantor Presiden. Total 10 ribu orang berdemonstrasi. Sebagian besar merupakan orang tua yang khawatir dengan kondisi anaknya di pusat pelatihan militer.

Sementara anggota legislatif dari Partai Kuomintang, Lin Yu-fang, malah mempertanyakan upaya keras militer untuk merekrut banyak tenaga relawan. Lin berpendapat program ini sudah jelas gagal. Pemerintah pun tidak bisa memaksa lulusan universitas untuk menjadi tentara, karena yang tertarik sebagian besar hanya lulusan SMA.

"Unit tentara bersenjata telah berencana untuk merekrut sebanyak 1.077 personel, tapi hanya berhasil memperoleh empat persennya saja di tahun ini atau 41 tentara. Artinya itu hanya cukup mengoperasikan 10 mobil saja," kata Lin.

Dia pun menyarankan Presiden Ma untuk menggelar referendum publik dan memutuskan apakah sistem wajib militer benar-benar dihapuskan atau memberlakukan sistem perekrutan secara sukarela.

Sementara badan pengawas Pemerintah, Control Yuan, merilis sebuah laporan pada Selasa pekan lalu yang menyebut Pemerintahan Ma harus mulai meninjau kembali rencana itu.

Di sisi lain, pihak militer menyerukan kepada Pemerintah agar menyetujui anggaran tambahan senilai NT$50 miliar atau Rp20 triliun per tahunnya agar dapat lebih menarik minat warga menjadi tentara.

Namun, seruan itu dikhawatirkan berdampak terhadap sistem keuangan Pemerintah.

"Jumlah tersebut diprediksi akan terus naik daripada menurun setiap tahunnya. Dari mana Pemerintah harus memperoleh dana sebanyak itu?" tulis laporan itu.

Sementara mantan Penasihat Keamanan Nasional, Su Chin-chiang, menyarankan agar proses pendaftaran dilakukan di waktu tenang. Su menyebut kendati saat ini tidak ada peperangan, namun ancaman militer dari daratan China masih terbuka lebar. Walaupun Negeri Tirai Bambu belum mengumumkan soal penggunaan tentara terkait soal sengketa selat.

MPV Semewah Alphard Ini Bisa Melesat Sekencang Mobil Sport
Presiden Direktur P&G Indonesia Saranathan Ramaswamy

Presiden Direktur P&G Indonesia Sebut Prospek Masa Depan Indonesia Cerah 

Presiden Direktur Procter and Gamble (P&G) Indonesia, Saranathan Ramaswamy menilai, Indonesia memiliki prospek bisnis yang cerah di masa depan.

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024