Pakar Politik Universitas Kairo: Mursi Bukan Pemenang Pemilu

Poster Presiden Mesir yang terguling, Mohamed Mursi.
Sumber :
  • REUTERS/Khaled Abdullah
VIVAnews - Sebuah fakta baru soal pemenang pemilihan umum Mesir yang digelar pada Juni tahun 2012 diungkap oleh seorang pakar politik dan pengajar dari Universitas Kairo, Mohammed Selim, Rabu malam, 28 Agustus 2013, di Kantor Berita Antara, Jakarta Pusat.
Marah Anggotanya Disiksa, ISIS Rilis Video Ancam Bunuh Presiden Putin: Berhenti Siksa Anggota Kami!

Menurut Selim, pemenang pemilu yang sesungguhnya tahun lalu, bukanlah mantan Presiden Muhammed Mursi, melainkan mantan Perdana Menteri Ahmed Shafiq. Selim berani berpendapat demikian karena adanya penundaan pengumuman hasil pemenang pemilu oleh Komisi Pemilu yang seharusnya dilakukan pada 21 Juni 2012.. Selim menyebut hasil pemilu yang sesungguhnya memenangkan Shafiq. 
Menakar Peluang Timnas Indonesia Lolos ke Piala Dunia 2026, Ada Berapa Tahap Lagi?

"Saya memperhatikan betul layar televisi, satu jam sebelum Komisi Pemilu mengumumkan hasil akhirnya. Saat itu masih diumumkan Shafiq dinyatakan unggul. Namun hasil itu kemudian berbalik satu jam kemudian," ungkap Selim. 
Pembakar Al-Quran Salwan Momika 'Diusir' dari Swedia, Kini Pindah ke Norwegia

Dia mengaku bingung apakah hasil pemilu bisa mengalami perubahan hanya dalam waktu tempo satu jam saja. Ternyata dari fakta yang dia temukan, Direktur Pusat Kajian Asia di Universitas Kairo itu, menyebut adanya kesepakatan antara Dewan Tertinggi Militer (Scaf), yang saat itu memimpin Mesir pasca tumbangnya Mubarak, dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. 

IM saat itu, lanjut Selim, mengancam Scaf. "Pada malam pengumuman hasil pemilu, ratusan ribu massa IM berkumpul di  Lapangan Tahrir dan mengancam Scaf. Mereka mengatakan apabila Mursi tidak dinyatakan sebagai pemenang, maka mereka akan membumihanguskan Mesir."

Ancaman itu dikatakan Selim, bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. Karena massa IM mengancam siap menyebar ke seluruh negeri untuk menciptakan kerusuhan. Pemerintah Amerika Serikat, kata Selim, turut berada di belakang aksi ini. Mereka disebut turut menekan Scaf agar mengumumkan Mursi sebagai pemenang pemilu. 

"Hasil pemilu pada malam itu telah dicurangi dan Scaf terpaksa membiarkan itu terjadi," tambahnya. 

Namun publik tetap membiarkan Mursi memimpin, karena menaruh harapan dia akan membawa perubahan bagi masa depan Mesir. Harapan, kata Selim, tidak sesuai kenyataan, karena usai setahun memimpin kondisi Mesir malah kian memburuk. 

Pernyataan Selim ini turut diperkuat laporan ekslusif yang dimuat di media North Times berjudul "AS Mencurangi Hasil Pemilu Mesir". Dikutip dari seorang sumber yang dekat dengan pejabat tinggi di Mesir, AS berperan penting dalam menekan Scaf agar mengumumkan Mursi sebagai pemenang pemilu tahun 2012 silam. 

AS ikut turut campur dalam situasi tersebut karena menganggap Mesir merupakan salah satu negara penting di kawasan Timur Tengah. Lokasinya yang berbatasan dengan Terusan Suez dengan Israel menjadikannya krusial, apabila situasi di sana tidak stabil. 

"Sehingga Mursi bukanlah Presiden pertama yang terpilih melalui cara demokratis seperti yang selama ini kami kira," tegas dia. 

Selim mengaku berpendapat demikian bukan berarti dia berada di sisi pemerintahan sementara yang didukung militer.  "Sebagai seorang akademisi saya berusaha netral dan berpijak pada fakta dalam menyatakan pendapat," imbuh Selim. 
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya